Kalau ditanya, penting nggak sih, belajar tentang hidup minim sampah? 
Saya akan jawab, penting banget! bahkan sangat urgen untuk saat sekarang ini. Bukan karena saya guru biologi yang sedikit banyak tahu permasalahan lingkungan, tapi lebih kepada tanggung jawab kita sebagai manusia untuk menjaga kelestarian alam.Bukankah menjaga kelestarian alam juga merupakan salah satu bentuk ibadah?

Ungkapan gaya hidup minim sampah atau zero waste lifestyle mungkin sudah tidak asing lagi ya, buat kita, pun saya, sebenarnya sudah lama mendengar, membaca, dan akhirnya penasaran bagaimana sebenarnya gaya hidup minim sampah yang akhir-akhir ini banyak dijalani kaum urban. 

Awalnya saya tidak terlalu tertarik untuk mencoba atau memulai gaya hidup yang bagi sebagian orang dianggap ribet. Memang dalam pikiran saya waktu itu adalah repot, dan nggak ada waktu. Apalagi hanya urusan sampah, toh gampang, tinggal buang ke tong sampah, terus bawa ke TPA, beres dan praktis bukan?.

Namun setelah beberapa kali membaca berita tentang isu-isu lingkungan, di antaranya akan ditutupnya TPA karena sudah overload, kebakaran TPA karena gas metana, pencemaran udara, pencemaran laut dan tanah yang kian menambah daftar panjang masalah lingkungan selain kebakaran hutan dan pemanasan global. Saya pun akhirnya mulai mikir, mulai tergerak untuk belajar mengurangi sampah dari rumah. Ya, masih sebatas mengurangi, saya belum bisa benar-benar zero dari sampah.

Feeling guilty juga sih, kenapa selama ini masih kurang bertanggung jawab terhadap sisa konsumsi sendiri, masih cuek dengan urusan sampah plastik.  Kalau terus menerus seperti itu,  bagaimana nasib anak cucu saya nanti? Apakah mereka harus hidup dalam kondisi alam yang rusak karena kurangnya kepedulian saya sebagai generasi yang hidup lebih dulu dari mereka? Apakah bijaksana jika saya terus menerus merusak tanpa ada usaha memperbaiki kondisi yang sudah semakin parah.
Jadi, kapan lagi kalau nggak sekarang?

💦💦💦

Memang tidak mudah untuk memulai hidup minim sampah, kita sudah keenakan dibuat serba praktis dan instan, keenakan main buang sampah karena sudah ada bapak tukang sampah yang mengangkut sampah-sampah dari rumah kita. Harus ada niat dan usaha yang kuat untuk bergerak dan berubah, juga harus punya alasan yang kuat kenapa saya harus memulai ini. Tanpa alasan kuat, bisa jadi di tengah jalan akan goyah, lalu berhenti karena menganggap ini semua adalah beban. Harus ada panggilan dari hati untuk melakukan perubahan gaya hidup dari yang suka nyampah menjadi hidup yang nggak banyak nyampah.

Bagaimana Memulainya?

Sudah banyak permasalahan yang terjadi di sekitar kita, mulai dari krisis iklim, terbakarnya hutan di berbagai belahan dunia, mencairnya es di kutub, apakah harus ditambah dengan masalah lain seperti menumpuknya sampah di TPA yang menyebabkan munculnya gas metana pemicu pemanasan global, belum lagi masalah sampah di laut yang mengancam biota yang hidup di dalamnya, bahkan belum lama ini ditemukan penyu-penyu memakan kantong plastik yang dikiranya ubur-ubur, paus yang mati karena makan puluhan kilogram sampah, penyu yang hidungnya tersumbat sedotan plastik, dan masih banyak lagi hewan yang menjadi korban akibat sampah.

Lalu, apakah kita harus diam saja menyaksikan itu semua? Atau harus mencari pembenaran atas tindakan kita kemudian menyalahkan pemerintah, pabrik plastik, dan sebagainya? Pasti lebih gampang daripada mengumpulkan tekad untuk mengubah perilaku kita.

Tapi bagaimana memulainya?
Saya sih simple aja mikirnya, nggak perlu muluk-muluk harus jadi relawan yang mau mengurusi sampah-sampah di perkotaan, memunguti sampah di sungai atau di pinggir jalan, cukup mulai dari diri sendiri, dan dari rumah sendiri, meski pemerintah belum kasih kebiajakn, meski tetangga masih adem ayem, meski keluarga belum mendukung, meski ditertawakan oleh teman, tetap luruskan niat, sebab tidak ada langkah yang terlalu kecil untuk sebuah kebaikan.

Apa saja hal-hal kecil yang bisa dilakukan dari rumah? 

1. Belajar melepaskan barang sekali pakai


Saya cukup tercengang membaca sebuah survey yang mengatakan bahwa satu orang di Indonesia rata-rata memakai 700 kantong plastik per tahun, bisa dibayangkan jika jumlah itu dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia. Catatan KLHK,penggunaan kantong plastik di Indonesia, lebih dari 1 juta permenit. Angka yang sungguh fantastis. 

Di zaman yang serba praktis seperti sekarang ini, melepaskan benda sekali pakai yang sudah sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari memang sulit. Berbagai bentuk barang kebutuhan, mulai dari makanan, minuman, perlengkapan mandi, kebutuhan dapur dan masih banyak lagi. Hampir semuanya menggunakan kemasan sekali pakai dan nggak bisa dipungkiri bawa barang-barang itu memberikan kepraktisan dan kemudahan buat kita.


Yang paling sering adalah pemakaian tas kresek dan kemasan mika pada makanan, yang namanya tas kresek atau kemasan mika pada makanan itu hanya beberapa menit dipakai, begitu sampai di rumah, plastik itu langsung dibuang,  tetapi kita masih sangat tergantung dengan barang-barang tersebut. Solusi untuk menguranginya adalah dengan membawa tas belanjaan sendiri, membawa wadah makanan saat membeli makanan di luar, ini bisa sedikit mengurangi jumlah sampah plastik di TPA. Membawa tumbler sendiri ketika bepergian juga bisa menjadi solusi mengurangi sampah botol plastik.

2. Membuat Kompos dari Sisa Organik Dapur


Dulu, saya sering membuang begitu saja sisa-sisa konsumsi dari dapur, baik itu potongan-potongan sayur, kulit buah, kulit telur dan sisa makanan lainnya. Alhasil tempat sampah di rumah jadi cepat penuh, kadaa ng becek dan berbau tak sedap. Kalau terlalu lama sampah itu teronggok di sana, jadi muncul belatung dan dikerubuti lalat. Tentu hal ini sangat mengganggu kebersihan dan kenyamanan rumah. Biasanya, jika sampah tersebut sudah mulai berbau dan becek, saya kemudian membuangnya ke TPA dengan cara mengikatnya erat dalam kantong plastik. Padahal cara seperti ini memunculkan masalah baru yang lebih pelik. Munculnya gas metana dari sampah organik yang tidak terurai sempurna juga berbahaya karena memicu pemanasan global yang lebih parah.


Sekarang saya sudah mulai belajar memilah dan mengolah sisa-sisa organik tersebut menjadi kompos. Kompos yang saya buat cukup sederhana dan sangat cocok untuk saya yang setiap hari harus ngantor. Saya hanya menggunakan ember atau pot yang dilubangi sekelilingnya, semua sisa dapur saya masukkan dan dicampur dengan tanah biasa, pupuk kandang atau  daun-daun kering. Sesekali, kompos ini perlu diaduk untuk menjaga kelancaran sirkulasi udara karena proses penguraiannya membutuhkan oksigen (anaerob). Setelah satu atau dua bulan, sisa organik tersebut sudah berubah jadi tanah bernutrisi atau kompos, selanjutnya kompos ini bisa kita manfaatkan sebagai media tanam yang subur.

Saya sangat terbantu dengan adanya komposter ini, jadi nggak perlu lagi membuang sisa organik dapur, tempat sampah di rumah jadi bersih karena isinya cuma sampah kering. Kalau mau tahu cara lengkap membuat kompos, bisa baca di sini 👉👉 Mengompos dari Rumah Semudah Membuang Sampah
 

3. Membuat Biopori 


Buat yang malas mengaduk kompos,  ada alternatif lain yang lebih mudah dan praktis untuk mengolah sisa organik dapur yaitu dengan membuat biopori. Biopori ini dibuat dengan membuat lubang kecil dalam tanah sedalam kurang lebih 1 m, kemudian dimasuki pipa sebesar lubangnya, dan ditutup dengan tutup pipa. Semua sisa organik bisa langsung dimasukkan ke dalam biopori.Tunggu beberapa minggu, sisa organik tersebut sudah hancur akibat penguraian oleh mikroorganisme dalam tanah. Kelebihan lain dari biopori adalah, semua sisa organik baik sayur, kulit buah ataupun sisa-sisa makanan bisa masuk semuanya tanpa perlu mengaduknya seperti pada pembuatan kompos dengan ember.

Ketiga cara di atas bisa dilakukan di rumah tanpa memerlukan peralatan yang mahal, yang terpenting dari semua itu adalah niat dan tekad untuk menjaga alam sekitar kita dari berbagai pencemaran, baik pencemaran udara, tanah maupun air. Kalau nggak mulai dari sekarang, kapan lagi? 








8 Comments

  1. Aku nggak punya lahan tanah nih di rumah. Bisa kali ya, mencontoh langkah kedua di atas. Aku pakai ember, masukkan tanah, masukkan sampah-sampah organik di sana. Eh, kalau seperti ini, perlu ditutup nggak sih, Mbak? Kira-kira bau nggak kalau dibiarkan terbuka?

    Di depan rumah tuh kami menanam pepohonan gitu di tepi jalan supaya teduh. Dan ini berupa pohon buah-buahan. Kan bisa jadi pupuk kompos untuk pepohonan itu, ya.

    Ngeri juga dengan efek gas metana dari sampah organik yang dimasukkan ke dalam kantong plastik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nggak punya lahan juga nggak jadi maslah mbak, ember komposter itu bisa diletakkan di bawah pepohonan, bisa juga di samping rumah. Asal komposisi material hijau dengan material coklatnya seimbang ngga akan menimbulkan bau, kalau takut diacak-acak tikus bisa ditutup pakai kardus terus ditindih batu atau pot mba.

      Delete
  2. Wah, ini keren banget. Sayangnya saya masih sulit untum mengikutinya. Butuh kekuatan lahir batin untuk bisa zero waste seperti ini. Baru sebatas lebih sering membawa tempat makan,minum,tas belanja sendiri. Btw kalau biopori itu menimbulkan bau gak mba?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sudah bagus mba, mau bawa tempat makan dan minum sndiri juga bawa tas belanja sendiri, berarti sudah ada gerakan untuk ke sana. tinggal ngumpulin niat untuk mengolah sampah organiknya

      Delete
  3. Harus mulai dari diri kita sendiri sih. Apalagi saat akan berhenti menggunakan produk sekali pakai. Nggak semua orang mau melakukannya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. betul mba Yuni, untuk kemasan sekali pakai ini memang masih sangat sulit, sudah terlalu nyaman dengan kepraktisan, he he..

      Delete
  4. Kalau produk sekali pakai sudah mulai mengurangi juga. Cuma yang masih susah itu buangan sampah organik karena gak ada tempatnya. Penginnya bikin biopori krn lebih simple. Tapi area tanah di rumah sempit banget. Kadang sedih juga kalau harus buang sisa makanan ke tempat sampah. Berasa gak tega aja.

    ReplyDelete
  5. MasyaAllah, pelajaran yang baik sekali.... Rasanya Dewi mau coba menerapkan dengan membuat kompos atau biopori. Terimakasih mbak, inspiratif sekali.

    ReplyDelete

Silakan tulis komentar dengan santun dan tidak keluar dari topik pembahasan